SYEKH ASNAWI CARINGIN BANTEN,
"Sosok Pejuang dan Pendakwah yg Gigih"
Mungkin namanya tak sekibar Syekh Nawawi al-Bantani. Namun,
sejatinya, beliau turut menyiarkan agama Islam di Banten, khususnya di
Caringin. Berdirinya Masjid Caringin yang masih kokoh hingga sekarang adalah
bukti bagaimana perjuangan dakwahnya kala itu. Syekh Asnawi memang tidak
mewariskan kitab seperti Syekh Nawawi Al-Bantani dengan Marah Labib-nya dan
karya-karya lain. Itu setidaknya dari data yang saya dapatkan. Sebab, beliau
lebih fokus pada perjuangan dakwah pelurusan akidah dan pengusiran penjajah. Beda
dengan Syekh Nawawi al-Bantani yang bisa fokus berkarya karena lebih banyak
hidupnya dihabiskan di negeri Makkah, yang notabene tidak sedang terjadi
konflik dengan penjajah kala itu. Namun, untuk daerah Caringin khususnya, nama
beliau bak seorang pahlawan. Makamnya yang bersebelahan dengan makam ayahnya,
Syeikh Abdurochman, kerapkali dikunjungi oleh jamaah untuk “ngalap berkah” atau
untuk sekedar tahu saja. Ya, bisa dikatakan, karena beliaulah sosok utama dalam
proses islamisasi di daerah Caringin khususnya. Syekh Asnawi dilahirkan di
Kampung/Desa Caringin, Kecamatan Labuan, Pandeglang, pada 1850 M. Ia lahir dari
pasangan Syeikh Abdurochman dan Ratu Sabi’ah. Semasa kecil, Syekh Asnawi
merupakan anak pemberani, cerdas, dan ulet. Saat berusia 9 tahun, Syekh Asnawi
pergi ke Mekkah untuk belajar Al-Quran kepada KH. Abdul Karim asal Tanara,
Serang, Syeikh Muhammad Nawawi, dan Syeikh Akhmad Khotib Asyamoasi. Jadi,
antara Syekh Asnawi dengan Syekh Nawawi adalah antara murid dan guru. Mereka
dipertemukan di Mekkah al-Mukarramah. Sekaligus, hal ini menunjukkan bahwa
meski Syekh Asnawi pergi jauh untuk belajar ilmu agama, namun unsur “budaya
lokal”-nya tetap ada karena ia sendiri diajar oleh guru-guru terhebat dari
Indonesia yang sedang berdakwah di sana. Syekh Asnawi tidak begitu lama belajar
kepada ketiga guru tersebut. Namun, berkat kegigihannya dalam belajar dan
kecerdasan otaknya dalam menangkap pelajaran. Maka dalam waktu relatif singkat,
sekitar 6 tahun, beliau sudah mahir dalam masalah ilmu al-Qur’an, seluk-beluk
Islam dan tarekat. Lalu, ketiga guru itu meminta Syekh Asnawi pulang ke tanah
air. Sekembalinya ke Caringin, Syekh Asnawi sedih karena sudah ditinggalkan
sang ayah, Syeikh Abdurochman. Selain itu situasi politik dan perilaku
masyarakat Caringin kacau-balau karena dirusak oleh perilaku yang dibawa
tentara Belanda. Banyak warga yang meninggalkan salat. Warga malah bangga
dengan budaya perjudian, pelacuran, mabuk-mabukan, penjarahan, dan pembunuhan.
Syekh Asnawi yang masih muda kala itu, sudah dihadapkan pada beban yang sangat
berat: beban psikologis, beban kultural dan beban nasionalisme. Beban
psikologis karena Syekh Asnawi baru saja ditinggal oleh sang ayah untuk
selama-lamanya ke alam baka, sementara beban kultural karena beliau menghadapi
situasi sosial masyarakat yang rusak secara moralitas. Lalu, beliau juga harus
mengatasi beban nasionalismenya, yaitu ikut berjuang melawan penjajah. Perang
batin antara perasaan sedih dan semangat, terjadi dalam hati Syekh Asnawi.
Namun beliau berniat jihad untuk meluruskan akidah masyarakat Caringin. Beliau
langsung memimpin pengajian di masjid-masjid di Caringin terutama di pesantren
yang ditinggalkan ayahnya. Tentu, tak mudah bagi Syekh Asnawi untuk
melakukannya –apalagi dalam usianya yang masih relatif muda. Selain teror dari
Belanda, beliau juga sering mendapat kecaman dari warga yang merasa
kebebasannya terusik. Namun, banyak jawara-jawara hebat dan sakti di Caringin
yang bisa ditaklukkan oleh beliau dan kemudian menjadi santrinya. Konon, Syekh
Asnawi juga terkenal memiliki kesaktian sehingga bisa menaklukkan para jawara
di kampungnya dan sekitarnya. Usaha yang dilakukan oleh Syekh Asnawi
betul-betul gigih. Belasan tahun ia melakukannya tanpa pamrih apapun. Hal ini
mengundang simpatik ulama Banten dan pejuang Islam saat itu. Nama Syekh Asnawi
dikenal semua kalangan hingga mendapat jodoh dan menikah dengan putri keturunan
ningrat bernama Nyi Ajeng Tuti Halimah. Dari pernikahannya ini, Syekh Asnawi
dikaruniai anak bernama Halimi yang meninggal di usia muda. Sebelum Syekh
Asnawi menikah dengan Nyi Ajeng Tuti Halimah, tempat kelahirannya sempat
diterjang musibah besar dengan meletusnya Gunung Krakatau. Keluarganya dan
sejumlah penduduk mengungsi. Setelah aman, Syekh Asnawi yang diikuti beberapa
warga kembali ke Caringin. Dia mulai membangun kota yang sudah usang dengan
sarana peribadatan seperti madrasah diniyah yang disebut Masyariqul Anwar dan
Masjid Caringin. Tak hanya itu, Syekh Asnawi bersama KH. Husen Carita turut
menjadi pelopor pembukaan Jalan Labuan-Anyar yang jaraknya kurang lebih 15
kilometer. Ditahan dan Diasingkan Atas kegigihan Syekh Asnawi dalam berjuang,
Penjajah Belanda mulai menganggapnya sebagai sosok yang sangat berbahaya bagi
upaya kolonialisasinya. Hal ini tentu saja tak bisa dibiarkan begitu saja. Beliau
pun akhirnya ditangkap dan ditahan di Tanah Abang. Setelah ditahan beliau lalu
diasingkan ke Cianjur selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan
pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda. Apa yang dilakukan Syekh Asnawi
mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama lainnya, seperti para
bangsawan dan para jawara. Selama di pengasingan Syekh Asnawi tetap berdakwah
dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Tarekat kepada masyarakat sekitar. Setelah
merasa aman beliau kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan
perjuangan menyiarkan Islam dengan kembali menghidupkan Madrasah Masyarikul
Anwar dan mendirikan Masjid Salafiah Caringin sekitar tahun 1884. Masjid
Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang. Pada ke empat sisinya terdapat
serambi. Arsitektur masjid dipengaruhi oleh unsur lokal, terlihat dari bentuk
atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta
pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi
masjid. Menurut cerita bahwa kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon
Kalimantan yang dibawa oleh Syekh Asnawi ke Caringin. Dahulu pohon tersebut
tidak bisa ditebang. Andaipun bisa ditebang beberapa saat pohon tersebut muncul
kembali hingga akhirnya Syekh Asnawi berdo’a memohon kepada Allah agar diberi
kekuatan untuk bisa menebang pohon tersebut. Pohon pun dapat ditebang serta
kayunya dibawa Syekh Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid. Tahun 1937
Syekh Asnawi berpulang ke rahmatullah dengan meninggalkan beberapa orang anak.
Beliau dikuburkan di sebuah tanah wakaf di Caringin. Hingga kini makamnya tak
pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai
daerah di tanah air. Menurut sebagian peziarah, keanehan kerapkali terlihat di
sekitar makam beliau, yaitu pancaran cahaya seringkali tampak memenuhi ruangan
masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut. Eep Khunaefi