Menilai siapa Eduard Dowes Dekker (Multatuli)
tak sesederhana nalar malas dan mainset seluruh masyarakat Indonesia yang
percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda
selalu jahat sementara pribumi selalu benar.Memahami sejarah dalam beberapa
soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu
sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya
dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker
yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar
berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang
pengecualian.MULTATULI, nama pena Eduard Douwes Dekker, jengah menyaksikan
pemerasan dan penganiayaan terhadap rakyat bumiputra oleh penguasa lokal.
Sebagai orang Belanda, ia juga tak setuju dengan sikap pemerintah kolonial
Belanda yang mendiamkan kezaliman itu.Multatuli
lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia memiliki saudara bernama Jan,
kakek dari Ernest Douwes Dekker (Setiabudi). Ayahnya nakhoda kapal dagang yang
berpenghasilan cukup. Karenanya ia bisa mengenyam pendidikan hingga
universitas. Awalnya ia rajin sekolah. Tapi lama-lama ia bosan. Prestasinya
anjlok. Ayahnya pun langsung mengeluarkannya dari sekolah dan menempatkannya di
sebuah kantor dagang.
Pada usia 18 tahun, ayahnya mengajaknya berlayar ke Hindia Belanda dengan kapal “Dorothe”. Kapal itu berlabuh di Batavia pada 4 Januari 1839. Sebelas hari kemudian, ia mendapatkan pekerjaan sebagai klerk (setingkat juru tulis) di Algemen Rekenkamer.Setahun kemudian naik pangkat jadi Komisi kelas II.
Pada usia 18 tahun, ayahnya mengajaknya berlayar ke Hindia Belanda dengan kapal “Dorothe”. Kapal itu berlabuh di Batavia pada 4 Januari 1839. Sebelas hari kemudian, ia mendapatkan pekerjaan sebagai klerk (setingkat juru tulis) di Algemen Rekenkamer.Setahun kemudian naik pangkat jadi Komisi kelas II.
Pada 1842, ia bekerja sebagai ambtenaar pamong
praja di Sumatra Barat. Gubernur Jenderal Sumatra Barat Andreas Victor Michiels
mengirimnya ke kota Natal sebagai kontrolir (pengawas, setingkat di bawah
asisten residen). Ia senang dengan kehidupan di kota terpencil itu. Tapi ia tak
suka dengan tugas-tugasnya. Suatu ketika, atasannya yang melakukan pemeriksaan,
menemukan adanya kerugian dalam kas pemerintahan. Ia diberhentikan sementara.
Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan. Akhirnya ia kembali ke Batavia; menjalani rehabilitasi dan mendapatkan “uang tunggu”. Sambil menunggu penempatan, ia menjalin asmara dengan Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen. Pada April 1846, ia mempersunting Tine –sebutan Everdine– di Cianjur, ketika ia sudah menjabat ambtenaarsementara di kantor Asisten Residen Purwakarta.
Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan. Akhirnya ia kembali ke Batavia; menjalani rehabilitasi dan mendapatkan “uang tunggu”. Sambil menunggu penempatan, ia menjalin asmara dengan Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen. Pada April 1846, ia mempersunting Tine –sebutan Everdine– di Cianjur, ketika ia sudah menjabat ambtenaarsementara di kantor Asisten Residen Purwakarta.
Kariernya merangkak naik. Pada 1846 ia diangkat
jadi pegawai tetap. Pangkatnya dinaikkan menjadi Komis di kantor Residen
Purworejo. Lalu Residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt
mengangkatnya menjadi sekretaris residen, sebelum dipindahkan ke Manado.
Puncaknya, ia menjadi asisten residen, jabatan nomor dua paling tinggi di
kalangan ambtenaar Hindia Belanda, dengan penugasan di Ambon. Tapi ia tak cocok
dengan Gubernur Maluku, yang bikin bawahannya tak punya inisiatif. Ia pun
mengajukan cuti dengan alasan kesehatan dan berlibur ke Belanda bersama
istrinya.Menurut Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela
Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran (2005), pada masa itulah E. de
Waal (kelak jadi Menteri Daerah Jajahan), yang masih ada hubungan keluarga
dengan istrinya, memperkenalkannya dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist.
Sejak itu, ia sering mendapat undangan dari istana dan berdiskusi dengan van
Twist. Van Twist bersimpati. Ketika jabatan asisten
residen di Lebak lowong, van Twist mengangkatnya pada 4 Januari 1856.Di Lebak,
ia berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi ia menjumpai keadaan di
Lebak sangat buruk. Rakyat menderita akibat aturan kerja rodi atau herendienst
(kerja paksa). Pemerintah juga lagi
giat-giatnya menjalankan tanam paksa (cultuurstelsel). “Penduduk Lebak dan
sekitarnya pada umumnya berada dalam keadaan melarat dan sering timbul
pemberontakan kecil-kecilan. Akibatnya sering terjadi penangkapan terhadap
penduduk, penyiksaan, pembakaran kampung, dan pembunuhan besar-besaran oleh
aparat yang berkuasa waktu itu,” tulis Moechtar.
Ia menaruh curiga pada Bupati Lebak Raden
Adipati Kerta Natanegara. Ia mengajukan surat pengaduan mengenai tindakan
Bupati Lebak dan menantunya, Demang Parungkujang Raden Wiranatakusuma. Ia juga
melaporkan langsung ke van Twist, yang dipandang sebagai kawannya. Di luar
dugaannya, van Kempen melaporkannya ke Raad van Indie (Dewan Hindia) agar ia
dipecat.Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 23 Maret 1856 No. 30,
berisi peringatan dan pemberhentian Multatuli sebagai asisten residen serta
pemindahannya ke Ngawi dengan pangkat lebih rendah. Ia pun secara resmi
mengajukan perngunduran diri pada 29 Maret 1856. Jawabannya diterima lima hari
kemudian, 4 April 1856.Multatuli pun harus mencari pekerjaan lain.Upayanya
membersihkan administrasi pemerintah kolonial kandas. Ia mencari cara lain,
agar dunia tahu apa kebobrokan sistem kolonial Belanda di tanah jajahannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar