Sering kita memikirkan latar
belakang apa yang membentuk sikap dan tingkah laku seseorang; mengapa orang melakukan
ini—atau itu; dan memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang. Ketika
sikap dan perilaku seseorang berubah, kita berpikir alasan apa yang ada di
balik perubahan itu. Kita juga sering menilai perilaku seseorang sebagai
perilaku yang baik atau buruk hanya melalui apa yang terlihat. Padahal, dalam
melakukan sesuatu dan bertindak, orang pasti memiliki alasan di baliknya. Hal
ini dijelaskan dengan sebuah teori yang bernama Reasoned Action Theory atau
Teori Tindakan Beralasan.
Teori Tindakan Beralasan (Reasoned
Action Theory) dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen
sebagai pengembangan dari teori informasi terintegrasi (Ajzen & Fishbein,
1980; Fishbein & Ajzen, 1975). Dalam teori ini, ada dua perubahan yang
bernilai penting. Pertama, dalam proses persuasi, teori ini memberikan elemen
tambahan yaitu tujuan tingkah laku yang dilakukan. Teori tindakan beralasan
lebih mengkonsentrasikan pada penyampaian tujuan tingkah laku secara eksplisit,
bukan memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan seseorang selanjutnya.
Yang kedua adalah teori tindakan
beralasan menggunakan dua elemen, yaitu sikap-sikap dan norma (atau apa yang di
masyarakat) untuk memprediksi tingkah laku seseorang. Ketika seseorang mengarahkan kita untuk
melakukan suatu hal, dan kita ingin melakukannya, tetapi ada norma yang tidak
menyarankannya dengan cara yang sama, maka kedua faktor tersebut dapat
mempengaruhi tingkah laku kita. Contoh, Hanna ingin membaca buku berjudul How
To Kill a Mockingbird, tetapi saya merasa buku tersebut terlalu kekanakan dan
sedikit membosankan. Di sini Hanna akan dihadapkan oleh alternatif untuk
membaca karena ia memang menginginkannya atau mengikuti referensi saya yang
menyatakan bahwa buku tersebut tidak begitu memuaskan.
Secara khusus, reasoned
action theory dapat menjelaskan bahwa tingkah laku dapat terjadi
karena dua hal, yaitu sikap kita (attitudes) dan norma subjektif (subjective
norms) yang kita yakini. Dalam aspek sikap, ada dua komponen yang
dibahas. Fishbein dan Ajzen menyebutnya sebagai evaluasi dan kekuatan dari rasa
kepercayaan. Komponen yang kedua adalah kepercayaan normatif dan dorongan dari
diri kita untuk mematuhi norma terkait. Kepercayaan normatif ini berkaitan
dengan apa yang saya pikir orang-orang harapkan dari saya. Sedangkan dorongan untuk
mematuhinya bertolak dari seberapa penting bagi saya untuk melakukan apa yang
orang-orang harapkan saya lakukan.
Ada beberapa pilihan yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Berikut beberapa strategi yang
diadaptasi dari information integration theory:
a. Menguatkan kekuatan dari
kepercayaan dalam bersikap yang mendukung tujuan persuasif.
b. Menguatkan evaluasi sikap yang
mendukung tujuan persuasif.
c. Melemahkan (mengurangi
kekuatan) dari kekuatan kepercayaan dalam bersikap yang berlawanan dari tujuan
persuasif.
d. Melemahkan evaluasi sikap untuk
mendukung tercapainya tujuan persuasif.
e. Membuat perilaku baru dengan
kekuatan rasa percaya dan evaluasi yang mendukung tercapainya tujuan persuasif.
f. Mengingatkan
khalayak mengenai sikap yang terlupakan dengan kekuatan rasa percaya dan
evaluasi yang mendukung tercapainya tujuan persuasif.
Contoh, ketika ingin mempengaruhi
sikap teman dekat, misalnya pada seorang teman bernama Bob ketika ia ingin
pergi ke bioskop: Bob memiliki sikap positif pada film berjudul ‘Trust’ yang
akan ia tonton karena mendengar bahwa film itu bagus, kita bisa meningkatkan
rasa percayanya dengan mengatakan “Film itu memang sangat bagus, semua orang
menyukainya,” atau mengevaluasi agar ia terpengaruh dengan mengatakan “Tak usah
kau tonton, Bob. Filmnya membuat saya mengantuk.” Namun jika Bob memiliki sikap
awal yang negatif untuk pergi ke bioskop karena berpikir bioskopnya jelek dan
sudah tua, kita bisa mempengaruhinya dengan mengatakan bahwa bioskopnya sudah
direnovasi atau mengevaluasinya dengan mengatakan bahwa yang terpenting adalah
filmnya, bukan bioskopnya. Kita juga bisa menambahkan informasi baru seperti soundtrack
film Trust dibawakan oleh band yang Bob sukai.
Sikap yang kita lakukan dalam
hidup tentu bertolak dari berbagai hal dalam diri kita, seperti pengalaman di
masa lampau dan kemampuan untuk menyerap berbagai informasi. Aspek penting
dalam bersikap berkaitan dengan teori tindakan beralasan adalah apakah sikap (attitudes)
yang dilakukan bernilai positif, negatif, atau netral (biasa saja). Contoh,
jika saya percaya bahwa memakai kondom dalam berhubungan seks adalah penting,
maka ketika saya memakai kondom dalam berhubungan seks saya akan merasa bahwa
apa yang saya lakukan adalah benar. Sikap tersebut dapat dikatakan positif.
Berkebalikan dengan itu, jika saya meyakini penggunaan kondom tidak penting dan
tidak memuaskan, dan saya memakai kondom dalam berhubungan maka itu menyalahi
apa yang saya yakini dan dapat dianggap sikap yang negatif.
Norma subjektif dapat
mempengaruhi seseorang untuk bertindak sesuai pengaruh kelompok atau bagaimana
biasanya kelompok bersikap dan bertingkah laku. Contoh lain adalah ketika
seseorang merokok di usia muda ketika masih duduk di bangku sekolah menengah.
Orang-orang di sekitarnya merasa resah dan memintanya untuk berhenti merokok.
Mau tidak mau dia akan terpengaruh norma sekitarnya, meski mungkin sulit untuk
benar-benar berhenti merokok.
Dengan berfokus pada sikap dan
norma, teori tindakan beralasan menyediakan sudut pandang baru dalam
mengidentifikasi dan mengukur alasan seseorang dalam melakukan sesuatu. Teori
ini dinamakan teori alasan bertindak karena menekankan pemahaman pada alasan
yang ada, bukan pada kepercayaan apakah tindakan yang dilakukan adalah benar
atau tidak benar.
Dalam teori ini juga dibahas
mengenai situasi dan faktor-faktor yang dapat membatasi pengaruh dari sikap dan
tingkah laku. Misalnya, ketika seorang perempuan ingin diajak pergi kencan oleh
pacarnya, tetapi si lelaki sedang tidak memiliki uang, maka kekurangan uang
itulah yang kemudian menghambat mereka untuk pergi berkencan. Bagaimanapun
juga, teori tindakan beralasan memprediksikan tujuan tingkah laku dan bagaimana
menyeimbangkan antara saat mana yang tepat untuk berhenti memprediksi sikap dan
benar-benar memprediksi tingkah.
Semakin kita mengerti mengenai
perilaku dan norma yang telah dilakukan orang beserta alasannya, semakin akurat
pemikiran kita dalam mendesain atau mengarahkan seseorang untuk berperilaku
lebih baik lagi. Bisa dengan mengubah perilaku seseorang atau mengajarinya
norma-norma baru.
Teori ini sangat relevan dengan
kehidupan dan dapat diaplikasikan dalam berbagai hal, seperti memprediksikan
perilaku konsumen, pemilihan suara untuk partai, dan lain-lain. Menurut O’Keefe
tahun 1990, penelitian mengenai teori ini menunjukkan bahwa faktor yang ada
dalam elemen sikap lebih kuat dan lebih menentukan dibandingkan faktor dari
norma subjektif. Sikap-sikap secara umum menjadi faktor yang lebih mempengaruhi
tindakan perilaku yang beralasan. Bagaimanapun, teori tindakan beralasan ini
menjelaskan banyak penyebab mengapa sikap tidak dapat dihasilkan dalam perilaku
yang diekspektasi.
Ajzen, I., & Fishbein, M. (1980). Understanding Attitudes and
Predicting Social Behavior.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Lezin,
N. (n.d.). Theory of Reasoned Action (TRA). Retrieved from
http://recapp.etr.org/recapp/index.cfm?fuseaction=pages.TheoriesDetail&PageID=517
Sheppard,
B., Hartwick, J., & Warshaw, P. R. (1998). The Theory of Reasoned Action. A
Meta-Analysis of Past Research with Recommendations for Modifications and
Future Research. Journal of Consumer Research , 325-343.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar