Teori Difusi Kebudayaan
Teori difusi kebudayaan dimaknai
sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia.Perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan
semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan
atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar
biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua
kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan
mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan
semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi,
maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke
wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi
pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya
tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
Seperti telah disebutkan pada
paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan Morgan bahwa
teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras
pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini
dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry
(1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan
mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai
kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini
sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic
Theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini,
peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil
persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya,
pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang
berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak
ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan
Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan
‘putra-putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke
berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu
mulia seperti emas, perak dan permata. Sebagai pendekatan yang datang setelah
teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya, pada awalnya teori difusi
tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini
karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak
menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan
dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut. Akan tetapi,
keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi
yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah
kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog
asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan
yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.
Franz Boas pada dasarnya adalah
seorang ahli geografi yang hidup antara tahun 1858-1942 dan berasal dari
Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak
melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan
bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya
mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai
kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan
hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas
kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti
mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’
dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian
kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten
atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini,
unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan
secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang
disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini
maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan
dunia.
Para
penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian
dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu
muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler
(1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan
bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan
suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya
mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang
merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam
daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di
dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam
peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil
dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya
yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian
tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Dari
implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler
berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu
golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Penerus selenjutnya dari gagasan
difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor
hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas,
Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam
bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan
mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam
melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa
yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu
menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam
bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar