Sabtu, 22 Juni 2013

teoriperubahan budaya difusi



Teori Difusi Kebudayaan
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia.Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata. Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut. Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.
Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang  hidup antara tahun 1858-1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.
Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar